About
RMBL ADALAH SENJATA.
'Balinese Pride. Seniman Bali sejak dulu kala melukis wanita bertelanjang dada. Itu menodai budaya Indonesia? RMBL adalah media (dalam bentuk) pakaian yang dirancang untuk menelanjangi kemunafikan.
'Inspirasi RMBL adalah hal-hal yang sering ditabukan oleh masyarakat dengan alasan-alasan mainstream seperti ketakutan yang berlebihan akan keindahan wanita, budaya alternatif & substansi mood altering. Menjadi diri sendiri terasa sulit di negara bhinneka yang penuh aturan moral ini. Disinilah RMBL berdiri, ini bukan tentang pakaian semata, ini tentang energi untuk melawan & menjadi diri sendiri.'
'In our propaganda, we don't use professional models. 'R' in RMBL stands for 'Real' so we only use original outlaws & counter-culture enthusiasts. Our philosophy "eat the fashion, wear the poison" ~ is like saying "fuck you mainstream world, what I wear will get you poisoned".
DARI SUDUT GELAP DUNIA FASHION.
'Sebelum tulisan ini saya lanjutkan, perlu saya pertegas jika konteks tulisan ini adalah mode cutting-edge sebagai bentuk perlawanan terhadap mode mainstream. Ya. Perlawanan. Seperti kita ketahui, industri mode mainstream melahirkan banyak sisi gelap nan kejam yang tercipta berkat trik-trik pemasaran 'brilian' mereka dengan anggaran miliaran: overkonsumerisme, adiksi akut terhadap sifat kepemilikan, yang pada akhirnya menjadikan manusia atau konsumennya sebagai mahkluk nihil esensi yang hanya mengejar citra. Dangkal.
'Sesuai 'status'-nya, merek-merek cutting-edge seharusnya menjadi bagian dari counter-culture atau bentuk perlawanan terhadap apapun yang 'terlalu berkuasa dan merusak'. Dan di zaman global yang serba instan ini, merek apa saja yang mengaku diri sebagai 'pelawan arus' semestinya tidak lagi hanya berani 'melawan' secara desain dan kualitas (contoh: desain dan kata-kata provokatif dengan bahan berkualitas prime) karena percayalah, hal-hal tersebut sudah 'disikat' dan 'dikemas' dengan jauh lebih baik dan terkurasi oleh merek-merek mainstream yang 'terlalu berkuasa' itu. Jika perlawananmu hanya sebatas desain dan slogan tanpa didukung penekanan esensi dan attitude serta perilaku lapangan yang kuat, kamu akan selalu tertinggal. Dari sinilah ide tulisan ini muncul. You can't be a wannabe and then expect a genuine love and respect from others just coz you're playing it 'safe'
'Jika secara desain dan kualitas kita sudah berada di level 'bisa diadu' dengan desain dan kualitas merek mainstream, untuk apa kita mengikuti cara-cara pemasaran mainstream yang 100% hanya bertujuan mencari keuntungan? Lalu apa bedanya kita dengan 'mere-ka'? Yang membedakan institusi mainstream dengan institusi cutting-edge itu apa? Cari esensinya. Apa yang cutting-edge atau berbahaya tentang sebuah clothing brand yang tujuan utamanya hanyalah keuntungan, tanpa ada pesan perubahan DAN aksi nyata yang kita (sebagai generasi yang muak) ingin sampaikan atau lakukan terhadap peradaban yang makin berkarat ini? Apakah kita ingin meniru merek mainstream dan menjadikan semua konsumen kita sebagai 'robot pembeli' tanpa tahu esensi dan alasan apakah mereka 'membutuhkan' produk kita atau tidak? Apakah kita mendewakan konsumerisme yang nihil esensi? What's so dangerous about that? Fuck your 'cutting-edge' bullshit if that's your only goal.
Jika dianalogikan dengan dunia musik, tak usah menjual citra indie, cutting-edge, berbahaya jika pesan, lirik, attitude yang disampaikan secara esensi tiada beda dengan band atau musisi mainstream yang cenderung menjual tema-tema 'penumpulan syaraf kritis'. Sorry, kids, tapi dunia ini sudah lama terbakar dan membutuhkan 'pengasah-pengasah' syaraf untuk memadamkannya. Otherwise, we all just become slaves and we're no other than 'they are': a robot, a money-making machine. Just another 'born-school-work-death' routine. Sedangkal itukah makna hidup kita?.
'So take a side, apakah kamu ingin menjadi 'mereka' yang 'menjual' dan 'mengemas' pemberontakan namun hampa kontribusi terhadap 'perubahan' itu sendiri (selain perubahan pada grafik saldo tabungan mereka, mungkin)? Atau kamu benar-benar ingin menjadi 'musuh' mainstream dan merubuhkan semua pakem-pakem bisnis konvensional, dan membuktikan pada 'mereka' jika tanpa mengikuti taktik pemsaran mereka yang 'aman' pun kita tetap bisa survive. Bahkan mungkin jadi lebih besar dari mereka.
'My point is, untuk semua merek-merek yang mengklaim diri sebagai merek cutting-edge, buktikan identitas kalian bukan hanya 'kulit'. Tidak hanya dengan menjadikan band atau musisi sebagai mannequin kalian, atau hanya dengan mengadakan dan mendukung acara-acara musik 'hura-hura' tanpa esensi perlawanan yang jelas. Give a real contribution and back it up with a real act. Take a look around. Apa yang membuat tidurmu tidak nyenyak? Alam atau lingkungan di daerahmu dirusak oleh penguasa atau investor rakus? Cari LSM yang menangani hal-hal seperti itu dan dukung setiap gerakan mereka dengan merekmu. Bosan melihat perlakuan homophobic masyarakat? Dukung komunitas-komunitas yang terasing dan jadikan mereka bagian dari merekmu. Muak melihat generasi-generasi masa kini yang semakin manja dan maunya serba instan dan trendy? Jangan ikuti kemauan mereka, lalu jejali mereka dengan argumen-argumen yang membuat mereka dan keluarganya menangis. Muak melihat anak-anak muda yang membanggakan pakaiannya hanya karena dipakai juga oleh seorang selebriti? Hajar mereka dengan ideologi dan penekanan esensi. Muak dengan acara-acara TV atau band-band yang 'menumpulkan' syaraf kritis dan merdeka kita sebagai manusia? Jangan dukung selebriti atau musisi tersebut dengan merekmu.
'Itu hanya beberapa contoh, dan kalian bisa kembangkan kerangka pemikiran tersebut ke banyak aspek yang menurut kalian perlu 'dilawan'. Jika dulu musik cutting-edge adalah perlawanan, maka kini adalah era di mana apa saja (termasuk pakaian) bisa kamu jadikan belati perlawanan. Semua tergantung pada caramu memaknai dan menjalani. Esensi, esensi dan esensi. Think out of the box: Jika idealis dalam bermusik itu wajar, kenapa idealis dalam memaknai pakaian itu tiba-tiba aneh?
Saya tahu, mematangkan sebuah ideologi itu berat dan mahal. Ia bukan seperti mie instan yang tinggal rebus lalu dimakan begitu saja. Kita seringkali 'menyerah' di titik argumen agung para mainstream, "Hidup memang harus seperti itu, kalau mau aman ya harus begini harus begitu bla bla bla." Fuck that! We have brains, and it's limitless. Kita manusia, bukan robot. Dan 'tembok-tembok' kanker peradaban (overkonsumerisme, pembodohan, pencitraan nihil esensi, kerakusan penguasa dan lain-lain) bisa kita rubuhkan secara perlahan jika kita punya cukup pengetahuan dan nyali untuk melakukannya. Serang dari segala sisi. Dukung setiap perlawanan terhadap 'tembok-tembok' tersebut. Itu baru BERBAHAYA, and that's when you can call yourself a CUTTING-EDGE brand.
Cheers,
JRX
HISTORI RMBL.
'Histori awal RMBL: Pada tahun 2004, saya yang sejak kecil senang menggambar/desain, mencoba membuat sebuah clothing label dengan nama Lonely King. Inspirasi saya waktu itu adalah fillm-film noir, kultur geng motor-mobil tua dan hal-hal outlaw yang bergaya elegan. Semua proses desain saya lakukan sendiri. Sayangnya Lonely King hanya bertahan 3 tahun karena saat itu saya terlalu sibuk dengan SID dan belum memiliki tim solid (tim LK hanya berdua, saya dan Sadik). Karena terbengkalai, tahun 2007 Lonely King terpaksa saya non-aktifkan meski hasrat saya untuk menuangkan sisi-sisi liar/pemberontakan secara visual masih membara. Dan sejak itu pula saya 'memasang' mata untuk mencari potensi baru yang kiranya bisa melanjutkan hasrat saya ini.
'Dari 2006 - 2010 saya 'mengamati' dunia per-clothing-an Bali. Dan saya lihat ada kecenderungan clothing-clothing lokal (meski tak semua) banyak yang terang-terangan 'meniru' - baik itu secara konsep & estetika - clothing-clothing luar Bali/lnternasional yang sedang 'trend' saat itu. Ok, namanya 'bisnis' saya tak menyalahkan. Kan misi utamanya profit.
Ditengah serbuan brand-brand lokal yang cenderung seragam itu, saya iseng membuka akun Facebook milik Adi (bassist band rockabilly The Hydrant) yang mem-posting beberapa karya desain-nya. Saat itu saya baru tahu ternyata Adi seorang desainer grafis. Setelah saya pelajari, desain-desain yang ia buat ternyata berhasil mempresentasikan hal-hal liar yang ada di dalam jiwa saya. He's got the soul! Desain-desainnya tidak 'tersentuh' jaman. Melawan arus. Timeless! Inilah orang yang saya cari-cari selama ini!
Setelah saya cari tahu, ternyata Adi sudah memiliki label bernama RMBL yang ia jalankan berdua bersama sahabat baiknya Komar (bassist band Irish-Punk 13% Outlaws). Pada satu kesempatan, mereka menawarkan saya utk menjadi model untuk produk topi pertama mereka.
Melalui beberapa percakapan, saya menawarkan diri untuk ikut bergabung dengan RMBL. Alasan saya: 1. Saya jatuh cinta dgn desain-desain yang dibuat oleh Adi. 2. Saya sudah sangat muak meliihat 'keseragaman' di dalam bisnis clothing di Bali/Indonesia.
Sudah saatnya clothing lokal bisa 'lepas' dari konsep 'cool' yang didatangkan dari pusat. Sudah saatnya setiap daerah dan remajanya punya gaya dan cara pikir mereka sendiri, bukan hasil cuci otak dari pihak yg 'itu-itu' saja. Bentuk resistensi inilah yang melahirkan konsep 'Balinese Pride' yang Adi dan Komar ciptakan sebagai identitas RMBL pada awal mereka berdiri.
Karena misi kita sama -mungkin karena selera musik yg sama- Adi dan Komar menerima saya bergabung di keluarga RMBL. Dan tugas saya di RMBL adalah sebagai visioner, konseptor sekaligus propagandis.
Jadi, demikian sejarah singkat tentang apa dan siapa dibalik RMBL yang sebenarnya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberi sedikit bayangan kenapa RMBL memang bukan hanya pebisnis murni. RMBL adalah pejuang. Kita ingin menunjukkan pada dunia bahwa ditengah derasnya brainwash media yang makin fucked up ini, setiap daerah seharusnya bisa dan berhak memiliki gaya dan attitude nya sendiri.
Cheers,
JRX
Movements
ECODEFENDER
Alasan RMBL memulai program #EcoDefender ini sederhana; perjuangan tak hanya perlu slogan, nyali dan semangat, tapi juga perlu dana. Apalagi kami tahu persis organisasi (Walhi) pelawan kebijakan penguasa ini bukanlah LSM yg didanai asing. Bisa dilihat dari kantornya; reot.
Walhi juga bersih dari kepentingan politik.Dengan jumlah anggota/relawan yg sangat sedikit, mereka murni berjuang utk alam. Sementara yg dihadapi Walhi (di lapangan maupun pengadilan) adalah pemodal-pemodal besar yg dgn mudahnya bermain uang; bayar hakim/preman/aparat.Nah, dgn #EcoDefender ini, kita yg tdk bisa terjun langsung melawan penguasa bisa ikut andil dalam mendukung perjuangan Walhi. Walhi kadang perlu dana dalam proses advokasi hukum dan demonstrasi. Selama ini dana #EcoDefender lebih banyak terpakai di dua sektor tsb.Tapi dana #EcoDefender juga tdk mutlak harus disumbang ke Walhi/atau organisasi sejenis yg lain kok. Dana tsb juga bisa kalian pakai utk membuat acara yg pro-lingkungan. Contohnya, konser #BaliNotForSale yg diadakan di tengah sawah Ubud tahun lalu. Itu semua dananya dari #EcoDefender.
Jadi dana #EcoDefender bisa kalian sumbang ke Walhi/organisasi sejenis atau utk bikin acara pro-lingkungan. Ingat, harus bersih dari politik!Sekali lagi saya ingatkan, nama #EcoDefender BUKAN milik RMBL tapi milik siapa saja yg serius berkontribusi kpd alam. Silakan digunakan.
Menjadi #EcoDefender itu mudah. Sisihkan sebagian profit usaha kalian per bulannya, sumbang ke Walhi atau organisasi sejenis, atau dananya disimpan utk bikin konser/kampanye pro-lingkungan. Penting diingat. Jika kalian membuat konser #EcoDefender PASTIKAN konser tsb memiliki cukup tempat sampah dan tidak melukai ekologi di area konser.#EcoDefender tidak hanya untuk Bali, tapi Indonesia dan dunia. Kita hidup di satu bumi, luka ekologi di satu tempat adalah luka kita semua. #EcoDefender adalah gerakan people's power, dimana kita sudah tidak percaya lagi thd pemerintah serta slogan-slogan go-green palsu mereka.
Cheers,
JRX
KNOWLEDGE IS KING
KNOWLEDGE IS KING Gerakan bersama untuk menjadi kakak asuh bagi pelajar kurang mampu di sekitar kita. April - Oktober 2012. Rp 1000 dari setiap penjualan produk RMBL akan di donasikan ke Siu Ajak Liu untuk membantu adik2 kita yang ingin melanjutkan sekolah.
Embed video : http://www.youtube.com/watch?v=EdV4Lvt0Hro
Link Web : http://siuajakliu.org/
MAKAN ITU POMADE!
Yang masih tidak nyaman dengan statemen saya ttg pomade dan rockabilly/kustom-kulture, silakan baca ini untuk lebih mengerti lagi. Semenjak Elvis dan berakhirnya era 50-an, satu-satunya skena yg loyal mempertahankan pomade sebagai identitas mereka adalah skena rockabilly dan kustom-kulture.
Ditengah gempuran flower-generation/hippies (60-70 an), masivnya era glam-rock 80-an serta alternative rock 90-an, mereka (skena rockabilly/kustom-kulture) tetap loyal dengan pomade. Itu alasan yang cukup vital kenapa pabrik-pabrik pomade di USA tidak bangkrut. Sejak dulu, mereka para greasers dan hot-rodders menjadikan pomade dan slick-look sebagai indentitas yg sangat mereka banggakan.
Di era 80-an perlahan culture rockabilly/kustom-kulture memasuki ranah punkrock, mulailah beberapa punkrockers memakai pomade dan berambut klimis. Lalu diawal 2000-an, di California mulai dibuka beberapa tattoo shop dengan konsep barber shop yg merupakan perpaduan dari kultur rockabilly, kustom-kulture dan punkrock. Rupanya, konsep baru (barber and tattoo shop) ini menjadi fenomena hingga akhirnya menjamur di negara-negara lain seperti Eropa, Jepang dan terakhir Asia.
Dari sana muncullah akhirnya trend baru dimana semua orang mulai menganggap pomade, barber shop dan getleman's look adalah the 'new cool'. Problemnya adalah, ketika pomade menjadi trend seperti saat ini, orang-orang, termasuk beberapa produsen pomade lokal tidak menghargai 'proses' kenapa pomade bisa sepopuler sekarang. Mereka tahunya cuma "oh, ini trend baru untuk terlihat keren". Dangkal sekali. Dengan attitude seperti itu, ketika trend ini berakhir, mereka akan ganti gaya dengan mudahnya. Tipikal sekali.
Dengan adanya indikasi popstars mainstream yg mulai diendore pomade lokal, dua tahun dari sekarang, anak-anak muda mungkin akan berpikir pomade dipopulerkan oleh band-band Melayu kacangan. Dimana loyalitasnya? Dimana penghargaan untuk perjuangan skena rockabilly/kustom-kulture yang membuat pomade se-populer sekarang? Hargai proses, bukan hasil. Berhentilah menjadi generasi instan yang gak mau tahu sejarah. Dangkal itu menjijikkan.
Cheers,
JRX